Dalam tes berdampak tinggi seperti ujian nasional dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri, kabar busuk tentang kebocoran dan perjokian selalu terulang tiap tahun. Kecurangan ini bahkan terjadi di tingkat SD, pada anak-anak yang semestinya sangat polos dan jujur, seperti yang diadukan Ibu Siami dan Irma Lubis.
Segala daya upaya pemerintah dilakukan untuk mengamankan pelaksanaan tes itu: mulai pelibatan pengawas independen dari perguruan tinggi, pengawas silang, polisi, hingga paling ekstrem Densus 88 Antiteror.
Namun, semua upaya itu sepertinya sia-sia. Salah satu kelemahan terbesar dari tes semacam UN dan SNMPTN adalah keengganan pemerintah membuka wacana mendesain ulang tes tersebut. Bentuk pilihan ganda selalu menjadi satu-satunya reka bentuk. Pemerintah tampaknya lebih mempertimbangkan faktor reliabilitas (hanya ada satu jawaban benar) dan praktikalitas (dengan komputer hasil bisa diketahui dalam hitungan detik), tetapi menyepelekan faktor validitas (mengukur hal yang harus diukur).
Pada tahun 2005 ETS selaku lembaga independen yang menelurkan uji bahasa Inggris TOEFL membuat sebuah perubahan besar desain tes yang selama ini lazim digunakan. Produk yang diberi nama TOEFL generasi terbaru ini ingin menjawab kecaman bahwa desain tes sebelumnya kurang valid memprediksi kemampuan mahasiswa berbahasa ibu bukan bahasa Inggris dalam mengikuti kuliah di Amerika Serikat.
Kalangan kampus menilai bahwa banyak mahasiswa internasional dengan nilai TOEFL yang melambung ternyata ”hanya” menjadi mahasiswa pendiam di kelas dan kurang mampu mengekspresikan ide dalam diskusi dan tulisan, kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam dunia akademik di AS. Ini bisa terjadi karena kemampuan berbicara dan menulis tak diuji dalam TOEFL.
Itu sebabnya, ETS mengubah desain TOEFL secara dramatis dengan memasukkan keempat kemampuan dalam berbahasa: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. ETS juga menyadari bahwa perubahan desain tes TOEFL ini akan mengubah cara guru bahasa Inggris mengajar dan cara siswa belajar bahasa Inggris. Apabila siswa dan guru hanya menekankan kemampuan mendengar dan membaca serta unsur tata bahasa dan kosakata, hampir bisa dipastikan peserta tes itu akan gagal.
Langkah perubahan
Belajar dari pengalaman dan filosofi ETS ini, kiranya pemerintah perlu mempertimbangkan melakukan revolusi pada desain tes UN dan SNMPTN. Langkah pertama yang mutlak dilakukan adalah menyatukan UN dan SNMPTN dalam satu desain yang sama seperti yang dijalankan di negara-negara maju.
Penyatuan ini akan menghemat sumber daya keuangan negara dan orangtua murid. Dana itu bisa dialihkan untuk membuat desain baru yang lebih valid mengukur kemampuan lulusan SMA/SMK memasuki jenjang pendidikan berikutnya.
Langkah kedua ialah memperkuat kelembagaan. Sesuai dengan amanat undang-undang, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) semestinya berdiri secara independen. Selama ini BSNP terasa berada di bawah ketiak Kementerian Pendidikan Nasional dalam pendanaan, bahkan pengambilan kebijaksanaan.
Agar menjadi lembaga yang dihormati seperti ETS, BSNP harus berani mereformasi diri dengan merekrut tenaga ahli yang profesional dan bermoral. Soalnya, sekali terjadi penyimpangan akan hancurlah kredibilitas lembaga secara keseluruhan. Pengalaman kita terhadap Komisi Pemberantas Korupsi harus jadi pelajaran bahwa kredibilitas itu segala-galanya.
Dengan penguatan kelembagaan BSNP yang lebih kredibel, para ahli bisa mulai bekerja secara profesional dalam membuat desain tes yang lebih baik. Desain tes yang baru harus memasukkan unsur kemampuan akademis yang lebih valid, yang mutlak digunakan untuk menjadi mahasiswa. Sebutlah seperti kemampuan menganalisis, menyintesis, dan memformulasikannya dalam bentuk esai.
Dengan desain tersebut, cara-cara kotor seperti perjokian dan kecurangan berupa pemberian jawaban lewat SMS dan sebagainya akan terhapus dengan sendirinya. Kecurangan akan dengan kasatmata mudah terdeteksi karena tidak mungkin satu sama lain memiliki pemikiran dan cara menulis sama persis.
Jauh lebih penting dari dampak perubahan desain tes ini adalah perubahan cara guru mengajarkan materi. Pengamatan yang selama ini dilakukan di kelas terakhir pada tiap jenjang pendidikan—kelas VI, IX, dan XII— menunjukkan bahwa sekolah sudah menjadi lembaga kursus persiapan ujian dengan melatih strategi jitu menjawab soal, termasuk ditengarai dalam memperlancar kerja tim ”sukses”.
Jika desain tes mengharuskan siswa menjawab secara esai, yang dikombinasi dengan soal-soal pilihan ganda, para guru mau tak mau harus mengajari muridnya untuk benar-benar mampu mengerjakan soal secara benar dengan segala langkahnya.
Apabila hal ini bisa dilakukan, kita bisa kembali ke jati diri pendidikan yang lebih manusiawi. Tidak perlu lagi melibatkan polisi—apalagi Densus 88—untuk mengawasi ujian sebab pendidikan bukanlah perkara kriminal, apalagi terorisme.
Yohanes N Widiyanto Dosen FKIP Unika Widya Mandala, Surabaya; Sedang Mengambil S-3 di Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
Segala daya upaya pemerintah dilakukan untuk mengamankan pelaksanaan tes itu: mulai pelibatan pengawas independen dari perguruan tinggi, pengawas silang, polisi, hingga paling ekstrem Densus 88 Antiteror.
Namun, semua upaya itu sepertinya sia-sia. Salah satu kelemahan terbesar dari tes semacam UN dan SNMPTN adalah keengganan pemerintah membuka wacana mendesain ulang tes tersebut. Bentuk pilihan ganda selalu menjadi satu-satunya reka bentuk. Pemerintah tampaknya lebih mempertimbangkan faktor reliabilitas (hanya ada satu jawaban benar) dan praktikalitas (dengan komputer hasil bisa diketahui dalam hitungan detik), tetapi menyepelekan faktor validitas (mengukur hal yang harus diukur).
Pada tahun 2005 ETS selaku lembaga independen yang menelurkan uji bahasa Inggris TOEFL membuat sebuah perubahan besar desain tes yang selama ini lazim digunakan. Produk yang diberi nama TOEFL generasi terbaru ini ingin menjawab kecaman bahwa desain tes sebelumnya kurang valid memprediksi kemampuan mahasiswa berbahasa ibu bukan bahasa Inggris dalam mengikuti kuliah di Amerika Serikat.
Kalangan kampus menilai bahwa banyak mahasiswa internasional dengan nilai TOEFL yang melambung ternyata ”hanya” menjadi mahasiswa pendiam di kelas dan kurang mampu mengekspresikan ide dalam diskusi dan tulisan, kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam dunia akademik di AS. Ini bisa terjadi karena kemampuan berbicara dan menulis tak diuji dalam TOEFL.
Itu sebabnya, ETS mengubah desain TOEFL secara dramatis dengan memasukkan keempat kemampuan dalam berbahasa: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. ETS juga menyadari bahwa perubahan desain tes TOEFL ini akan mengubah cara guru bahasa Inggris mengajar dan cara siswa belajar bahasa Inggris. Apabila siswa dan guru hanya menekankan kemampuan mendengar dan membaca serta unsur tata bahasa dan kosakata, hampir bisa dipastikan peserta tes itu akan gagal.
Langkah perubahan
Belajar dari pengalaman dan filosofi ETS ini, kiranya pemerintah perlu mempertimbangkan melakukan revolusi pada desain tes UN dan SNMPTN. Langkah pertama yang mutlak dilakukan adalah menyatukan UN dan SNMPTN dalam satu desain yang sama seperti yang dijalankan di negara-negara maju.
Penyatuan ini akan menghemat sumber daya keuangan negara dan orangtua murid. Dana itu bisa dialihkan untuk membuat desain baru yang lebih valid mengukur kemampuan lulusan SMA/SMK memasuki jenjang pendidikan berikutnya.
Langkah kedua ialah memperkuat kelembagaan. Sesuai dengan amanat undang-undang, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) semestinya berdiri secara independen. Selama ini BSNP terasa berada di bawah ketiak Kementerian Pendidikan Nasional dalam pendanaan, bahkan pengambilan kebijaksanaan.
Agar menjadi lembaga yang dihormati seperti ETS, BSNP harus berani mereformasi diri dengan merekrut tenaga ahli yang profesional dan bermoral. Soalnya, sekali terjadi penyimpangan akan hancurlah kredibilitas lembaga secara keseluruhan. Pengalaman kita terhadap Komisi Pemberantas Korupsi harus jadi pelajaran bahwa kredibilitas itu segala-galanya.
Dengan penguatan kelembagaan BSNP yang lebih kredibel, para ahli bisa mulai bekerja secara profesional dalam membuat desain tes yang lebih baik. Desain tes yang baru harus memasukkan unsur kemampuan akademis yang lebih valid, yang mutlak digunakan untuk menjadi mahasiswa. Sebutlah seperti kemampuan menganalisis, menyintesis, dan memformulasikannya dalam bentuk esai.
Dengan desain tersebut, cara-cara kotor seperti perjokian dan kecurangan berupa pemberian jawaban lewat SMS dan sebagainya akan terhapus dengan sendirinya. Kecurangan akan dengan kasatmata mudah terdeteksi karena tidak mungkin satu sama lain memiliki pemikiran dan cara menulis sama persis.
Jauh lebih penting dari dampak perubahan desain tes ini adalah perubahan cara guru mengajarkan materi. Pengamatan yang selama ini dilakukan di kelas terakhir pada tiap jenjang pendidikan—kelas VI, IX, dan XII— menunjukkan bahwa sekolah sudah menjadi lembaga kursus persiapan ujian dengan melatih strategi jitu menjawab soal, termasuk ditengarai dalam memperlancar kerja tim ”sukses”.
Jika desain tes mengharuskan siswa menjawab secara esai, yang dikombinasi dengan soal-soal pilihan ganda, para guru mau tak mau harus mengajari muridnya untuk benar-benar mampu mengerjakan soal secara benar dengan segala langkahnya.
Apabila hal ini bisa dilakukan, kita bisa kembali ke jati diri pendidikan yang lebih manusiawi. Tidak perlu lagi melibatkan polisi—apalagi Densus 88—untuk mengawasi ujian sebab pendidikan bukanlah perkara kriminal, apalagi terorisme.
Yohanes N Widiyanto Dosen FKIP Unika Widya Mandala, Surabaya; Sedang Mengambil S-3 di Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
0 comments
Post a Comment