| 0 comments ]

Formula baru dalam Ujian Nasional adalah menggabungkan nilai UN dengan nilai sekolah (NS). Nilai sekolah adalah gabungan nilai ujian sekolah ditambah nilai rapor semester 1-4. Adapun nilai gabungan adalah antara nilai sekolah dan UN ditetapkan minimal 5,5. Nilai kelulusan siswa adalah kombinasi dari nilai gabungan dengan nilai ujian sekolah semua mata pelajaran.

Uniknya, meski sudah ada kelonggaran, tetap saja laporan mengenai kecurangan- kecurangan dalam penyelenggaraan UN tahun ini masih saja terdengar. Kabar mengenai kebocoran jawaban soal masih marak. Aturan-aturan seperti tidak boleh membawa ponsel ke dalam kelas masih saja dilanggar. Bahkan sebuah televisi swasta merekam pembiaran murid-murid melakukan kecurangan di dalam kelas. Para pengawas seperti tak peduli ketika peserta UN "berdiskusi" untuk menyelesaikan sebuah soal.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh mengatakan manfaat hasil UN adalah menjadi salah satu penentu kelulusan peserta didik, pemetaan mutu program satuan pendidikan secara nasional, pintu masuk untuk pembinaan dan perbaikan mutu pendidikan, baik di tingkat satuan pendidikan maupun nasional, mendorong motivasi belajar siswa, dan mendorong peningkatan mutu proses belajar mengajar.

Adapun tujuannya, menurut Wakil Presiden Boediono, adalah untuk meningkatkan standar pendidikan di Tanah Air. Menurut Wapres, UN juga untuk dapat menghasilkan keadilan dan kejujuran kepada siswa dan siswi yang mengikutinya.

Manfaat dan tujuan UN memang sudah jelas, tapi implementasinya ke bawah justru menjadi transparan. Kelulusan seratus persen yang "dibebankan" pada sekolah menjadi bumerang untuk mencapai tujuan, dan mendapatkan manfaat dari ujian ini. Sekolah-sekolah seperti berlomba-lomba menginginkan predikat untuk menjadi sekolah yang berhasil meluluskan siswa sebanyak-banyaknya. Memang belum ada penelitian apakah ada korelasinya antara target sekolah dan kecurangan-kecurangan yang terjadi pada penyelenggaraan UN.

Di detikcom, Mendiknas menyebut kecurangan dalam UN itu seperti narkoba. Mendiknas mengibaratkan orang yang tidak punya niat mengonsumsi narkoba tidak akan menerima tawaran narkoba meskipun itu gratis. Begitu juga dengan peserta ujian. Yang tak punya niat untuk curang tentu tak akan melakukan kecurangan meskipun ada peluang.

Jika kecurangan itu seperti narkoba, berarti bagi yang telah terbiasa berbuat curang harus ada shockterapy yang bisa menyembuhkan. Kecurangan disadari atau tidak bakal terbawa sampai nanti ketika oknum siswa yang terbiasa curang masuk ke dalam dunia nyata.

Indikasi itu sebenarnya sudah mulai terlihat. Ketika penyelenggara UN memperketat pengawasan ketimbang penyelenggaraan tahun sebelumnya, tetap saja ada yang coba- coba berbuat curang. UN pun yang sejatinya bertujuan untuk menyamakan standar pendidikan nasional, hasilnya malah bisa sebaliknya. Begitu juga dengan tujuan agar siswa siswi berbuat adil dan jujur, takkan tercapai, seperti kata pepatah jauh panggang dari api.

0 comments

Post a Comment